Hi guys, kali ini aku mau membahas mengenai unsur-unsur masyarakat, pranata sosial, dan integrasi masyarakat dengan mengangkat Masyarakat Adat Gelarang Colol sebagai obyek pembahasan agar kita tidak hanya sekedar mengerti definisi tetapi juga bagaimana aplikasinya dalam masyarakat itu sendiri.
seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia memiliki beragam suku budaya yang unik dan kearifan lokal yang tak ternilai harganya, maka dari itu aku mau mengajak pembaca sekalian untuk travelling ke dalam masyarakat Adat kita, supaya kita semakin mencintai Indonesia, salah satunya Masyakarat Adat Gelarang Colol.
sebelum beranjak, mari kita pahami definisi singkat dari apa itu unsur-unsur masyarakat, apa itu pranata sosial, dan apa itu integrasi masyarakat
Unsur-unsur masyarakat
Menurut Soerjono Soekanto, yang dikutip di dalam buku Pengantar Antropologi: Sebuah Ikhtisar Mengenal Antropologi (2019:52), sejumlah unsur masyarakat adalah sebagaimana perincian sebagai berikut: Beranggotalan paling sedikit dua orang atau lebih, seluruh anggota sadar sebagai satu kesatuan, berhubungan daam waktu yang cukup lama, menghasilkan individu baru yang saling berkomunikasi dan membuat aturan-aturan hubungan antar anggota masyarakat sehingga menjadi sistem hidup bersama yang memunculkan kebudayaan dan keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat.
Pranata Sosial
Pranata sosial adalah kumpulan nilai dan norma yang mengatur kehidupan manusia. Kebudayaan yang didalamnya terdapat nilai, norma, dan perasaan juga merupakan pola bagi tindakan dan tingkah laku manusia yang diperoleh melalui proses belajar dalam kehidupan sosialnya.
Integrasi Masyarakat
sebuah proses perpaduan atau penyatuan antar unsur-unsur dalam masyarakat yang meliputi pranata sosial, kedudukan sosial, dan peranan sosial. Integrasi ini tujuannya untuk menyatukan masyarakat tersebut, meskipun adanya kedudukan bahkan peranan sosial di dalamnya berbeda.
Dari penjelasan di atas, kita tahu bahwa ketiga hal tersebut saling berkaitan dan tidak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat.
Selanjutnya mari kita mulai mengupas Mayarakat Adat Gelarang Colong agar semakin memahami bagaimana usnur-unsur masyarakat itu terbentuk, apakah ada pranata sosial didalamnya? dan bagaimana mereka saling berintegrasi satu sama lain.
Dimanakah
keberadaan Masyarakat Adat Gelarang Colol?
Gelarang
Colol secara administratif terletak di Kecamatan Poco Ranaka Timur, Kabupaten
Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Satuan wilayah dari masyarakat
adat Colol disebut dengan Gelarang yang terdiri dari beberapa Gendang yaitu
Gendang Colol, Gendang Welu, Gendang Biting, dan Gendang Tangkul. Masyarakat
adat Colol secara demografi juga termasuk penduduk dari keempat desa di atas
dengan jumlah sekitar 1.364 kepala keluarga. Dari sejumlah tersebut, jumlah
laki-lakinya 2.787 jiwa, sedangkan perempuannya berjumlah 3.009 jiwa.
Masyarakat adat Colol seharihari menggunakan bahasa Manggarai dan bekerja
sebagai petani, peladang, maupun berkebun untuk memenuhi kebutuhan
sehari-harinya.
Darimana
masyarakat adat Colol berasal?
Dituturkan
bahwa sejarah awal mula Panga Colol, berasal dari wilayah Gowa. Dibawa oleh leluhur
mereka bernama Ranggarok pada sekitar tahun 1600-an. Ranggarok menetap di
sebelah barat Gendang Racang yang saat itu diberi nama Golo Meka (tamu). Ranggarok
kemudian menikah dengan putri Racang bernama Pote Dondeng. Ranggarok dan Pote
Dondeng kemudian memiliki anak bernama Mondo dan tinggal di Golo Mondo (Lingko
Lowo saat ini). Masyarakat adat Colol tidak berasal dari satu keturunan,
melainkan satu kesatuan dari beberapa klan atau yang disebut dalam istilah
lokal adalah panga. Setidaknya ada 14 panga yang saat ini membentuk peradaban
dan melakukan perjuangan hidup dalam identitas yang sama yaitu masyarakat adat
Colol. Masyarakat adat Colol memiliki gagasan tentang hubungan antar-ruang hidup
mereka dalam ujaran “Gendang One Lingko
Peang” yang berarti kampung di dalam dan ladang di luar. Nilai dari ujaran
tersebut menunjukkan masyarakat Colol terikat dengan wilayah adat yaitu kampung
atau “gendang” sebagai tempat mereka bernaung
dan ladang atau “lingko” sebagai
tempat mencari penghidupan.
Siapa
saja unsur-unsur masyarakat yang ada dalam Masyarakat Adat Colol dan bagaimana
mereka saling berintegrasi?
Untuk
menaungi kesatuan dari seluruh masyarakat adat Colol diperlukan orang-orang
yang dapat memimpin keempat belas panga. Selain itu, masyarakat sebagai subjek hukum
tentu terikat pada seperangkat nilai, norma, dan aturan (hukum) adat atau yang
dibaca dalam bahasa lokal sebagai “adak”
yang dibangun melalui kesadaran bersama dan dimapankan secara turun temurun. Oleh
karenanya, tatanan kehidupan bermasyarakat yang terikat pada seperangkat produk
hukum adat itu dipelihara oleh beberapa orang yang dianggap dapat memimpin dan menjalankan
peran serta fungsi terkait. Dalam konteks masyarakat adat Colol, beberapa orang
itu disebut sebagai “Tua Mukang Lalong
Kampong/Adak“ atau yang diartikan secara harfiah sebagai “Para Tetua Kampung/Adat”. Adapun
pemangku-pemangku adat yang terdapat dalam masyarakat adat Colol yaitu “Tua
Golo” dan “Tua Teno”. Jika Tua Golo berarti Ketua Pemangku Adat yang berperan
sebagai pemimpin masyarakat, Tua Teno adalah pemangku adat yang mengurusi perihal
tanah adat (lingko), upeti adat (wono) dan ritual adat. Tua Golo dan Tua Teno
bekerja berdampingan dan dibantu oleh ketua-ketua dari setiap panga yang berada
di masing-masing gendang (desa) atau yang disebut sebagai “Tua Panga”. Adapun
Tua Panga sebagai pemimpin suatu Panga juga membawahi beberapa kepala tiap keluarga
besar dari panganya yang juga disebut sebagai “Tua Kilo”.
Beberapa
tugas dari Tua Golo antara lain, memimpin masyarakat adat Colol di wilayah
Gendangnya, menjalankan roda pemerintahan adat, dan bersama Tua Teno dan Tua
Panga melakukan pengambilan keputusan terkait kepentingan umum, permasalahan antar-masyarakat,
hingga peradilan adat. Adapun tugas dari Tua Teno selain di atas adalah
memimpin pelaksanaan ritual adat, menentukan pembagian lahan adat (di masa
lalu), dan mengumpulkan wono atau upeti dari lahan adat. Di sisi lain, kepala
di tiap panga atau Tua Panga dipilih dalam musyawarah tingkat panga maupun
penunjukan dari Tua Panga sebelumnya kepada anaknya. Periode jabatannya adalah
sampai yang besangkutan tidak mampu lagi mengemban peran itu ataupun karena
sebab lain. Sedangkan Tua Kilo di masing-masing keluarga besar dipilih dari
anak sulung laki-laki dari garis keturunan laki-laki yang memiliki kemampuan
berbahasa adat. Periode jabatannya adalah sampai yang besangkutan tidak mampu
lagi mengemban peran itu ataupun karena sebab lain.
Apa
saja bentuk pranata sosial yang ada dalam Masyarakat Adat Colol dan bagaimana
mekanisme kontrol terhadap pranata sosial tersebut?
Masyarakat
Colol memiliki produk-produk hukum adat dengan mekanisme kontrolnya sendiri
yang mereka akui sebagai landasan untuk hidup baik dengan manusia maupun alam.
Apabila terjadi pelanggaran aturan adat maupun sengketa antar masyarakat,
dilakukanlah musyawarah adat atau lonto leok sebagai proses pengambilan
keputusan. Adapun beberapa contoh pranata sosial yang terbentuk dalam
Masyarakat Adat Colol diantaranya adalah adanya larangan perkelahian fisik antarwarga
maupun antar-kelompok dengan mekanisme kontrol dilakukan mediasi oleh pihak
ketiga agar berdamai dan diwujudkan dengan pemotongan 1 ekor babi dan 1 ekor
kambing yang dimakan bersama. Jika ada korban luka, pelaku disanksi dengan
Wunis Peheng atau menanggung pengobatan. Kemudian adanya Larangan membuat
keributan dan bekerja menyiang rumput selama dua hari saat ada warga satu
Gendang dan/atau satu Lingko yang meninggal. Warga boleh ambil hasil kebun
tetapi ditutupi oleh daun kering. Jika melanggar maka didenda 1 ekor ayam dan
tuak. Jika diulangi kesalahan itu hingga tiga kali maka disanksi denda 1 ekor
babi untuk kebutuhan pesta kenduri orang yang meninggal.
Hal
yang diutamakan untuk dicari dari proses musyawarah adalah tentang benar dan
salah bukanlah menang atau kalah dari suatu perkara. Hukum adat bagi masyarakat
di Gelaran Colol masih dianggap penting untuk ditegakkan telebih dahulu
daripada hukum positif. Biaya mengadakan proses peradilan adat dan penyelesaian
sengketa melalui lonto leok adalah sebesar Rp 1.000.000 yang dibayar di awal
oleh masing-masing pihak dan dicatat oleh Tua Golo dan Tua Teno. Bilamana
terjadi ketidakpuasan atas hasil dari lonto leok, pihak tersebut dapat
meneruskannya ke ranah hukum positif. Namun, jika terdapat unsur anggota
masyarakat adat Colol yang terbukti melangkahi hukum adat, maka para pemangku adat
dan masyarakat pada umumnya akan memberikan sanksi berupa 1 ekor kambing, uang
Rp. 500.000 dan 1 bonggo tuak.
Sumber:
1. Badan
Registrasi Wilayah Adat
https://brwa.or.id/wa/view/eU9zVzhZXzM4Mmc
diakses oleh Atika Cahyawati pada tanggal 10 Mei 2021 pukul 11.00 WIB
2. Panggabean.
2018. Praktik Peradilan Menangani
Kasus-Kasus Hukum Adat Suku-Suku Nusantara.Jakarta: Kelompok Gramedia
Terimakasih....
sampai bertemu di minggu selanjutnya
Keren๐๐ป
BalasHapus๐
BalasHapusMantul Atika
BalasHapuskeren bund, menulislah bun karena dengan menulis kau akan diingat anak cucu cicitmu
BalasHapusLanjutt... lama-lama jadi assyik menulis .. Tks sangat bermanfaat ya !
BalasHapus